MANADO – Satu lagi referensi tentang siapa leluhur suku Minahasa, dalam buku yang ditulis oleh Weliam H. Boseke. Buku yang akan diluncurkan kembali untuk cetakan kedua ini, akan diulas pada Seminar Bedah Buku, Senin 05 Maret 2018, pukul 09.30 – 14.00 di ruang seminar lantai 6 Kalbis Institute, Jalan Pulomas Kav 22 Jakarta Timur.
Seminar ini akan menghadirkan pembicara, Weliam H Boseke (Penulis), Prof. Dr. Perry Rumengan, MSn (Etnomusikolog), dan Dr. Benni E. Matindas (Budayawan Minahasa).
Resensi Buku
Judul: Penguasa Dinasti Han, Leluhur Minahasa
Penulis: Weliam H. Boseke
Penerbit: Pohon Cahaya, Yogyakarta
ISBN: 978-602-5474-41-5
Tahun: 2018, cetakan ke-2 (Februari)
Tebal: 416 hlm. bookpaper A5
Dalam buku ini, penulis mau menguraikan tentang 3 sosok sentral yang selama ini dipahami oleh orang Minahasa yaitu Toar-Lumimuut-Karema yg sebelumnya menjadi tokoh2 dalam Legenda Minahasa yang beredar selama ini.
Penulis juga mau menekankan bahwa ketiga sosok tersebut adalah Manusia Histori dan bukanlah Manusia Mitos sebagaimana dipahami selama ini. Dengan menggunakan pendekatan linguistik, penulis mendapatkan banyak kesamaan bahasa yg dipakai oleh org Minahasa adalah berasal dari bahasa yg dipakai oleh bangsa Han di Tiongkok yg berbentuk mono sylable.
Menggemparkan. Ya, buku yang anda baca ini membuka tabir gelap tentang Leluhur Minahasa. Bertahap penulis menghantar anda menelusuri identitas asali manusia Minahasa.
Weliam Boseke seorang otodidak dan bukan berlatar belakang akademisi formal, bermodalkan penguasaan bahasa Han dengan baik dan bahasa Minahasa cukup dalam serta didorong oleh rasa ingin tahu yang kuat tertarik meneliti untuk menemukan siapa sebenarnya leluhur Minahasa yg sampai kini masih berbentuk dongeng namun sangat dipercaya. Cara Weliam Boseke mendapat data dengan berjalan dan mengumpulkan fakta dan bukti-bukti riil di lapangan baik yg ada di negeri Han maupun di Minahasa, dan dia mencoba mencari benang merah hubungan keduanya dengan bahasa sebagai alat pembedah. Cara yg dibuat Weliam dapat dimiripkan dgn cara yg digunakan dlm analisis bandingan bahasa dalam sejarah (historical__comparative_ _linguistic ). Dan dengan memahami cara membaca Pin Yin, penulis menghantar pembaca mengerti begitu banyak kata penting Minahasa, yg ternyata merupakan serapan bahkan sesungguhnya adalah bahasa Tiongkok, yang telah berubah secara struktur dan bentuk tapi bunyi masih menunjukkan asal kata. Hal ini diperlihatkan dalam kasus tertentu, di mana telah mengalami perubahan bentuk dan bunyi serta maknanya karena kondisi konteks yg telah berubah serta telah dipengaruh oleh bahasa lain.
Selanjutnya pembaca akan dibuat takjub dan terharu saat mendengar dan memahami isi dan konteks Nyanyian Karema (dinyanyikan oleh Tonaas Walian dalam upacara ritual adat) yang memuat rahasia besar hubungan batin mendalam tak terputus antara anak keturunan terhadap leluhur mereka para pejuang dan bangsawan dinasti Han Raya. Rahasia ini terhubung dengan kisah perang saudara di Tiongkok yang mengakibatkan tragedi terpisahnya anak dari orangtua.
Buku ini bukan hanya menggemparkan dan mengharukan, tapi juga membawa banyak konsekuensi logis serta implikasi teoretikal dan praktikal dalam kehidupan masyarakat adat Minahasa tapi juga negara bangsa Indonesia…
Temuan ini bisa menjadi kajian dan refleksi tentang (si) apa itu bangsa Indonesia kini dalam konteks masa lalu dan masa depan yang mengaku satu bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan fakta keberagaman dan asal usul leluhur yang bisa ditelusuri jauh sebelum masa-masa kerajaan nusantara dan budaya agung arkais, dapatkah dibenarkan anggapan dan fenomena klaim diri kelompok tertentu merasa lebih asli, sedangkan kelompok lainnya dianggapnya tidak atau kurang asli, non pribumi, seolah kita mesti saling terpisah dan terkucilkan, mau saja dipisah dan memisahkan diri antar anak bangsa?
Pernyataan guru besar Ilmu Pengetahuan Budaya dari Universitas Indonesia berikut ini merupakan jawaban yang menarik dan bijaksana: “Kita semua terkait dengan atau budaya kita dengan demikian bahasa kita, ada hubungan dan turunan dari budaya serta bahasa (yang lain), tetangga kita, dari entah mana. Kita tak terpencil. Kita bersaudara. Kita adalah bagian dan anggota dunia yg mendamba sejahtera dan persaudaraan.” (Riris K. Toha Sarumpaet) Jawaban juga dikemukakan pengkaji ahli dari Lemhanas RI lebih tegas lagi: “Selain menambah khasanah perspektif dan kejelasan realitas budaya masyarakat serta mempertajam orientasi nilai budaya, terutama juga dalam kerangka memperkuat identitas budaya Minahasa itu sendiri sebagai bagian yg tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yg kita cintai.” (Mayjen Ivan R. Pelealu)
“Dengan buku ini, kiranya kita bisa berkaca dan saksikan bukan hanya siapa kita, tetapi terlebih pada apa yang kita punya, kekayaan budaya, kekuatan ganda yg melahirkan bangsa -masyarakat- kita.” ( Riris) Maka penting “sebuah strategi budaya nasional – demi eksistensi dan kemajuan peradaban bangsa – dengan hermeneutika berbasis norma dan nilai dan konsensus, dan melalui dialektika dengan realitas kehidupan sebagai satu bangsa majemuk dalam pelbaga matra dani konteksnya.” (Ivan)
“Buku ini mendorong orang berefleksi mengenai kekayaan manusia Indonesia yang hidup di Minahasa Sulawesi Utara dengan segala perjuangannya untuk bereksistensi, berada sesuai dengan keunikannya. Keunikan ini, apa pun latar belakangnya, telah memperkaya keindonesiaannya. Makin menarik karena berisi cerita sejarah yang menampilkan tokoh-tokoh teladan bagi generasi muda dalam konteks pendidikan karakter dan nilai.” (Ferry Doringin, Ph.D.)
Tentu saja masih banyak pertanyaan yang mungkin muncul dari temuan dan penjellasan buku ini, sebanyak teori dan keyakinan mitologis yang ada selama ini bila berbicara tentang orang Minahasa. Apapun itu, karya ini jelas “memberi perspektif baru mengenai jati diri Manusia Minahasa.” (Ferry) Dan, “karya ini patut dihargai dan diberi ruang dan waktu tampil di hadapan mimbar akademis dan publik luas.” (Ivan)
Kembali Ketua Program Filsafat UI memberi kesaksian sebagai intelektual akademisi kampus yang mengakui jujur hakikat dari seorang penulis buku melampaui gelar akademik: “Memang hebat usaha ini. Semoga buku ini bisa membukakan mata masyarakat Indonesia pada apa yang sesungguhnya dimilikinya. Kemungkinan tak terhingga yang bisa diraihnya jika ia memiliki mentalitas dan moralitas yg baik dan kuat. Tanpa harus bergelar berjejer dia bisa berpikir, meneliti, menemukan, dan menyatakan siapa dirinya: seperti terbaca dari buku ini.”
Namun pernyataan tentang kehebatan dan kegemparan dari maha guru dan ahli serta profesional, dan segala pujian lainnya dari mereka yang sudah membaca buku ini, sesungguhnya mengandung tugas mulia namun maha berat. “Studi linguistik yang menarik (ini) laksana memanggil Tou Minahasa agar ‘Duc in Altum’, yaitu bertolak ke tempat yang lebih dalam.” (Max Wilar) Tokoh Kawanua ini mendukung upaya temuan ini dan menantang semua manusia Minahasa untuk berani membuka diri pada usaha dan karya penelitian, sebagai bentuk nyata sikap berani berpikir ( sapere_ _aude_ ), mencari, menemukan, dan mendalami serta melestarikan nilai dan kesejatian diri identitas sebagai individu, kelompok, dan publik lebih luas.
Sejak temuan ini mulai diuji publik dalam pelbagai kesempatan formal dan informal, sampai dipublikasikan dalam bentuk buku yang menarik, karya ini sudah menarik banyak minat dan perhatian kaum intelektual dan publik Minahasa khususnya, bahkan menjadi viral di dunia maya. Apa sesungguhnya isi buku ini? Bahkan akan lebih terbelalak lagi mata kita setelah membaca buku berikut yg akan segera terbit, di mana Weliam menunjukkan begitu banyak fakta kesamaan mulai dari bahasa, perilaku, tradisi, nama2 keluarga, nama2 kampung, bahkan sejumlah istilah yg telah digunakan dalam beberapa agama di Minahasa yg diakui sebagai istilah teologi yg sifatnya kontekstual namun asalinya dan sesungguhnya berasal dari bahasa Han.
Dalam teori etnomusikologi ditegaskan bahwa nyanyian adalah bukti sejarah yang jujur mengandung nilai, moral, kondisi sosial, alam, dan semua fenomena yang ditangkap dan dihayati masyarakat setempat. Rumages dan Sazani adalah bentuk nyanyian doa masyarakat Minahasa, dan dibawakan Tonaas Walian (pemimpin upacara ritual). Fakta ini merupakan bukti kuat dan otentik adanya kondisi Minahasa masa lalu yang terkait dengan peristiwa nyata di negeri Han.
Dalam nyanyian ritual yang pertama dibawakan oleh Karema dan diturunkan kepada para Walian itu tersingkaplah rahasia nama-nama fam Minahasa yang terangkai menjadi satu bagaikan litani pujian penuh hormat (malesung) kepada A Mang Kai Shu Ru An (yang tidak lain adalah Sang Kaisar) dan para pendekar yang setia kepadanya. Merekalah sesungguhnya yang disebut Po Yuan (nenek moyang asal) atau Opo (pu yun) dari orang Minahasa. Setelah sekian lama hanya dituturkan ternyata syair nyanyian itu sudah tak bisa dipahami seutuhnya bahkan bebberapa kata sudah jauh dari arti aslinya dalam bahasa Han.
Dapat dikatakan bahwa dengan pendekatan (etno-sosio) linguistik, penulis membuktikan demikian banyak kata dan ungkapan Minahasa dalam nama-nama keluarga (fam), nama tempat, dalam doa nyanyian ritual kuno, syair-syair lagu dan tarian, istilah-istilah dan ungkapan-ungkapan yang lazim, nama-nama benda hidup dan benda mati, dan lain-lain lagi bisa ditelusuri kembali asal usul dan konteksnya khusus dalam bahasa dan sejarah dinasti kekaisaran Han di Tiongkok, sampai abad ke-3 Masehi, yakni masa perang saudara Tiga Negeri, San Guo (Sam Kok).
Penulis juga menunjukkan kisah-kisah seputar istana pada jaman Dinasti Han, dengan pelbagai tokoh dan perannya. Dramatis dan mengharukan. Antara kesetiaan dan penghianatan, keberanian moral dan kompromi kepentingan diri, pengorbanan dan ketakutan, keputusasaan dan harapan kuat…kisah-kisah yang melatari perpisahan keluarga yang menyayat hati.
Demikian banyak bukti diberikan dan sangat komprehensif meliputi pelbagai sudut kehidupan orang Minahasa. Sepuluh tahun penelitian di negeri sendiri dan asal di Tiongkok serta negeri-negeri sekitarnya. Ditulis oleh seorang otodidak di luar tradisi akademis, karya ini justru sungguh orisinil dan diungkapkan secara jujur dengan tingkat pembuktian ilmiah yang sangat tinggi. Begitu banyak hasil temuan dibuktikan penulis dan tidak terbantahkan. Temuan ini bukan saja mengandung kebenaran logis, tetapi juga disertai kebenaran dan bukti material faktual.
Melalui berbagai uji mimbar kampus akademis maupun publik, penemuan ini telah mendapat perhatian serius dan penuh antusias, bahkan akademisi dan guru besar etnomusikologi, Perry Rumengan mengungkapkan rasa takjub dan tercengangnya. Guru besar ini mendapatkan gelar doktor dari Universitas Gajah Mada dengan fokus penelitian dalam Pengkajian Musik. Dia menganalisa musik beratmosfir sendu melankolis begitu dominan di tanah Minahasa.
Penelitian dan temuan Weliam Boseke ini memberi jawaban yang begitu mengharukan tentang konteks perpisahan abadi anak dari orangtua itu.
Maka tak heran dia (Prof. Perry Rumengan) hendak merevisi sejumlah buku yang pernah ditulisnya dalam kaitan dengan sosiologi musik ini justru karena temuan baru ini. Prof. Perry inilah akademisi pertama yang menanggapi secara sangat serius akan hasil penelitian Weliam Boseke ini dan kemudian berinisiatif mengadakan kegiatan-kegiatan ilmiah di kampus-kampus dan masyarakat publik, dalam rangka promosi hasil penemuan besar ini. Prof. Perry pun bersedia dan komit mempelopori segala daya upaya para pengambil kebijakan untuk membuat revisi dan koreksi pengetahuan ilmiah umum maupun pemahaman mitologis tentang Minahasa yang selama sekian lama masih penuh tanda tanya.
Legenda Toar Lumimuut sebagai manusia pertama orang Minahasa tampaknya dipengaruhi oleh kekristenan sehingga dimiripkan dengan cerita Alkitab tentang Adam dan Hawa sebagai Manusia pertama. (Dr. Audy Wuisang) Lebih ironis lagi, dan ini kemungkinan ada unsur kolonialisme yang hendak merendahkan dan melemahkan identitas dan martabat bangsa Minahasa, bahwa Toar adalah anak dari Lumimuut itu sendiri. Temuan ini memfalsifikasi pengetahuan dan cerita legenda perkawinan incest tersebut. Sebaliknya penelitian Weliam Boseke membuktikan bahwa Toar Lumimuut adalah manusia sejarah, bukan anak dan ibu, kemudian mereka saling menyukai dan oleh Karema (Kai ren mu) dimohonkan restu utk dinikahkan dari arwah/leluhur kaisar (Xian/Shen Wong = Sien pung) dengan ritual adat . Karema juga adalah tokoh sejarah di negeri Han sebagai wanita yang bertugas mengurusi ritual doa dalam istana.
Tak diragukan lagi, penulis inilah yang pertama mampu menerobos tirai-tirai bambu yang padat semrawut, lalu tersingkaplah bentangan luas tanah asali dan peradaban para leluhur yang berakar urat serta bertali temali dengan eksistensi para pejuang dan keturunan dinasti kekaisaran Han. Pertanyaan tentang tiada tradisi tulisan yang dibawa para leluhur itu, dijawab dengan penegasan bahwa mereka yang masuk ke tanah Minahasa ini, dilukiskan sebagai “tuur in tana” (tu uxin dao na ..’tanah tempat tiba tanpa kesengajaan”), adalah bocah-bocah yang belum menyerap ilmu pengetahuan. Min na hai zi = rakyat yang membawa anak anak dari para penguasa. Mereka itulahlah yang kemudian hari disebut waraney atau dalam bahasa Han: hua ren na yi yang artinya keturunan penguasa dinasti Han.
Akhirnya ungkapan berikut jelas bernada prasangka negatif: Sejarah ditulis oleh pemenang. Manusia Minahasa jaman now dan future mesti mengintervensi diri dan kelompoknya (winning intervention) untuk menjadi pemenang sejati, tidak dibuat-buat dan tidak ikut-ikutan demi kepentingan tertentu yang menyesatkan! Keturunan para ksatria itu pantang menyerah kalah sebelum membuktikan keunggulan dirinya (tonaas) dalam suasana dan kebutuhan kelompok kekerabatan dan persaudaraan (matuari). Anak keturunan ini boleh saja tetap membawa luka batin sejarah, tapi sekaligus mewarisi sikap ksatria menghadapi segala tantangan arus jaman.
Filsuf Prancis, Foucault, dalam buku arkeologi pengetahuannya menyatakan ada keterpatahan sejarah bila ilmuwan fokus pada segi linguistik. Sejarah tidak hanya bisa dimutlakan berjalan kontinu dan satu kesatuan perjalanan waktu. Maka sadari dan jadilah agen perubahan dalam upaya meluruskan sejarah, demi mengetahui jati diri dan cerita besar kecilnya, yang karena pengaruh luar terutama oleh penguasa di jamannya, perjalanan sejarahnya telah mengalami pelbagai keterpatahan, perbedaan, bahkan penyimpangan. Kunci utama untuk membuka sambungan, menemukan kesamaan, dan menjalani kelurusan sejarah asal usul leluhur Minahasa adalah bahasa Minahasa itu sendiri. Dan Weliam Boseke sudah memakai kunci itu bagi peradaban Minahasa dan bangsa Indonesia sebagai bagian dari warga dunia bumi yang satu dan sama ini. Xie xie*, terimakasih.
Peresensi: Stefi Rengkuan
* Ada pengakuan umum bahwa orang minahasa tidak mengenal kata terimakasih? Menurut penulis, etimologi kata ‘terimakasih’ dalam bahasa Minahasa yang sudah menyimpang tapi masih bisa ditelusuri dalam bahasa Han: ‘sesè ko tole nai’ = berterimakasihlah bocah, jangan buat malu.
Dalam perjalanan waktu mengalami keterpatahan lalu tertinggal kata pertama dan artinya pun sudah berkonotasi negatif karena lepas dari kesatuan tutur ungkapan sastra tinggi.