Oleh: Ir. Djafar Alkatiri, MM. MPdI
Sebagai Negara Agraris, Indonesia dituntut memiliki program strategis nasional di bidang pertanian untuk menjaga ketahanan pangan bagi seluruh rakyat Indonesia. Munculnya rencana pemerintah untuk mengembangkan food estate di Kalimantan Tengah pada lahan seluas 164.598 hektare (ha) untuk dijadikan sebagai lumbung pangan di masa depan, tentu merupakan bagian dari langkah strategis program pangan nasional.
Food Estate merupakan konsep pengembangan produksi pangan yang dilakukan secara terintegrasi mencakup pertanian, perkebunan, bahkan peternakan yang berada di suatu kawasan lahan yang sangat luas. Hasil dari pengembangan Food Estate bisa menjadi pasokan untuk ketahanan pangan nasional dan selebihnya bisa untuk ekspor. Pengembangan food estate ini merupakan program dan sinergi seluruh komponen di pemerintah baik di pusat dan daerah dengan dukungan pengawasan serta pembiayaan, dengan mengikutsertakan investor atau pemodal. Sinergi itu mulai dari sistem hulu, on farm, hilir, hingga distribusi pasar untuk meningkatkan kapasitas dan diversifikasi produksi pangan.
Jika program startegis food estate ini berjalan sesuai dengan masterplan maka Indonesia akan mampu menyediakan cadangan pangan dan lahan tetap yang berkelanjutan sekaligus akan memberi nilai tambah berupa ; meningkatkan nilai produksi sektor pertanian local, petani dapat mengembangkan usaha tani skala luas, terbukanya potensi ekspor pangan ke negara lain, meningkatkan penyerapan tenaga kerja pertanian, terintegrasinya sistem sentra produksi, pengolahan dan perdagangan, dan harga pangan menjadi murah akibat produksi pangan melimpah.
Bila targetnya adalah orientasi hasil dan mazhab Agribisnis maka program Food estate ini sangat strategis tapi untuk memenuhi harapan dan tujuan UUD 1945 pasal 33 yang nafasnya untuk memberikan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat dalam hal ini adalah petani sebagai penggarap dan pemilik lahan maka orientasi hasil harus diikuti dengan peningkatan kapasitas dan kesejahteraan petani. Artinya food estate harus mampu menciptakan sinergi dalam perencanaan yang bersifat Agrososial-ekologi. Mengingat selama ini petani Indonesia selalu berhadapan dengan situasi yang tidak pernah menguntungkan. Pada saat suplay pangan meningkat maka harga jatuh dan petani kemudian merugi. Ketika supai menurun, harga naik, namun kenaikan ini justru banyak dinikmati para tengkulak, pedagang dan investor. Belum sempat petani menikmati keuntungan akibat kenaikan harga, pemerintah lewat kebijakan segera merespon dengan mendatangkan produk impor pertanian, alih-alih untuk “menstabilkan harga”. Dan yang paling dirugikan dalam situasi ini adalah petani yang hasil garapannya sedikit karena kepemilikan lahan yang kecil.
Memotret kondisi lahan petani kita, 56,5% dari 25,4 juta keluarga petani di Indonesia adalah petani gurem, yang memiliki lahan kurang dari 0,5 hektar padahal untuk survive petani harus memiliki lahan 1 hektar. Maka tidak heran, hampir 60% petani kita adalah masuk kategori miskin (pendapatan dibawah $ US 2 per hari). Dengan kondisi yang miskin tidak mungkin akan menjadi penyanggah utama penyediaan pangan untuk seluruh rakyat Indonesia.
Disisi lain, adanya pembukaan food estate, maka karakter pertanian dan pangan Indonesia makin bergeser dari peasant-based and family-based agriculture menjadi corporate-based food dan agriculture production. Kondisi ini justru melemahkan kedaulatan pangan Indonesia.
Terlepas dari masalah Food Estate yang digulirkan oleh pemerintah, semestinya kita mengerti bahwa akar permasalahan selama ini di bidang pertanian salah satunya adalah masalah kepemilikan dan distribusi lahan pertanian. Ada 9,55 juta KK petani di Indonesia yang hanya mempunyai lahan dibawah 0,3 hektar. Belum lagi petani yang sewa tanah untuk bertani juga sangat banyak jumlahnya. Pemerintah seharusnya lebih memprioritaskan lahan dan persoalan kesejahteraan petani saat merencanakan program food estate ini. Sebab, problem yang belum bisa dituntaskan pemerintah sampai saat ini adalah sempitnya lahan petani dan kesejahteraan petani.
Ada beberapa catatan krusial dan penting untuk dijadikan perhatian agar persiapan, tahapan perencanaan dan proses “proyek” food estate ini dapat dievaluasi dengan cermat yakni pertama, Potensi lahan yang dimiliki oleh rakyat Indonesia tidak bisa maksimal dimiliki dan dikelola secara penuh oleh petani Indonesia. Apalagi jika mengacu kepada Undang-undang No 25/2007 tentang Penanaman Modal (UUPM) dengan berbagai turunannya yang memberikan peluang bagi investor untuk semakin menguasai sumber-sumber agraria, Peraturan Presiden No 77/2007 tentang daftar bidang usaha tertutup dan terbuka disebutkan bahwa asing boleh memiliki modal maksimal 95 persen dalam budidaya padi.
Peraturan ini jelas akan sangat merugikan 13 juta petani padi yang selama ini menjadi produsen pangan utama. Apalagi 77 persen dari jumlah petani padi yang ada tersebut masih merupakan petani gurem. Perlu ada payung hukum yang memberi kepastian terhadap posisi dan status petani dalam kepemilikan dan perlindungan dalam penggarapan lahan.
Kedua, food estate setidaknya akan mempengaruhi tujuan Reforma Agraria. Dimana tujuannya agar tanah-tanah pertanian diredistribusikan kepada para penggarap dan buruh tani tidak bertanah. Bukan kepada perusahaan yang memiliki modal besar, Food estate diperkirakan akan melanggengkan kondisi buruh tani bekerja banting tulang tanpa ada kesempatan mendapatkan lahan sebagai modal utama bertani.
Ketiga, diperlukan peraturan yang dihasilkan pemerintah tentang Food Estate ini lebih berpihak kepada petani daripada pemodal untuk mencegah konflik. Sebagai catatan, jika peraturan yang lahir nanti memberikan kemudahan dan keluasan bagi perusahaan atau personal pemilik modal untuk mengelola Food Estate maka karakter pertanian dan pangan Indonesia makin bergeser dari karakter pertanian berbasis keluarga kepada pertanian berbasis korporasi.
Keempat, adalah pemerintah harus mampu mengontrol distribusi produksi hasil dari Food Estate agar korporasi atau pemodal tidak menentukan semaunya harga pasar.
Dalam catatan ini juga kita berharap agar hasil produksi pertanian food estate lebih mendahulukan kertersediaan dan kebutuhan pangan dalam negeri (pasar domestik) baru lebihnya diorientasikan untuk pasar luar negeri (ekspor).
Mencermati beberapa catatan diatas tentu untuk dicari solusinya agar kegagalan masa lalu khususnya program Pengembangan Lahan Gambut (PLG) di zaman Soeharto dan program food estate 100 ribu hektar di Ketapang Kalimantan Barat di zaman SBY tidak lagi terulang kembali di zaman pemerintahan saat ini. Apalagi jika masalah klasik status lahan masih menjadi persoalan sosial budaya seperti terjadi di food estate Meurauke, Papua atas banyaknya permasalahan status tanah ulayat dan juga untuk menghindari di Kalimantan Tengah soal status tanah adat yang masuk dalam lahan proyek food estate.
Dimana dari sengketa-sengketa tersebut masyarakat petani kemudian kehilangan kedaulatan dan dirugikan atas status kepemilikan lahan.
Ketahanan pangan harus mampu mewujudkan hak pemenuhan atas ketersediaan pangan dan terbukanya akses untuk mendapatkannya. Unsur penting dan strategis dalam ketahanan pangan adalah petani sebagai produsen dalam mengelolah produksi pangan tapi juga sebagai konsumen besar dalam pemanfaatan hasil produksi pangan yang sebagian besar petani miskin yang membutuhkan daya beli yang cukup untuk membeli pangan.
Karenanya petani harus dapat berakselerasi dalam tiga aspek penting ketahanan pangan yakni, ketersediaan, distribusi dan konsumsi pangan. Peranan pemerintah daerah menjadi penting untuk mengawal akses petani lokal dalam proses ketiga aspek diatas sejak dari hulu sampai hilir dalam pelaksanaan program food estate, agar benar-benar tujuan program ketahanan pangan dapat menciptakan kedaulatan pangan dimana produksi pangan meningkat dan petani Indonesia tumbuh makin sejahtera.
Ir. Djafar Alkatiri, MM. MPdI
Wakil Ketua Komite 1 DPD RI.
Alumni Fakultas Pertanian Unsrat Manado.