Penulis: Hendra Makalalag
Was-was… yaaa, itulah kalimat yg tepat menyikapi agenda Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak tahun 2020 ditengah situasi pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid 19). Musuh bersama yang tak terlihat tapi meneror keselamatan bahkan mematikan jiwa setiap kita yang tidak patuh terhadap anjuran pemerintah untuk mengutamakan protokol kesehatan sebagai standar pencegahan terhadap virus mematikan bernama CORONA.
Lantas, Apakah keberadaan Virus tersebut mampu menunda jadwal pelaksanaan Pilkada yang berdasarkan agenda akan dihelat pada 9 Desember mendatang? Jawabannya tidak. Meski iya, tentu hal ini memerlukan pertimbangan-pertimbangan khusus dari para elit politik dan pemerintahan. Selebihnya, pemerintah juga tidak mau kalah dengan Corona. Kurang lebihnya demikian walau nurani kita setuju bila Pilkada serentak ditunda.
Terlepas dari setuju atau tidaknya kita tentang penundaan Pilkada itu, yang paling penting yang harus kita tahu adalah apa dan bagaimana suksesi kepemimpinan Sulawesi Utara (Sulut) kedepan.
Wacana ini hangat dibicarakan di seantero bumi nyiur melambai. Bahwa masa bakti setiap Kepala Daerah dibatasi 5 tahun masa tugasnya, dan setelahnya dipilih kembali paling tinggi 2 periode kepemimpinan berdasarkan regulasi tentang otonomi daerah maupun kepemiluan, memang seperti itulah keadaannya.
Dimana posisi Rakyat dalam hal ini? Tentu saja Rakyat menduduki posisi sebagai pemilik kedaulatan tertinggi di Negeri ini yang kembali menentukan siapa nanti memimpin SULUT 5 tahun akan datang.
Rakyat diberi kesempatan mencari terbaik diantara yang baik melalui saluran politik dan demokrasi yang diyakini mewakili aspirasi sesuai Hati Nurani. Pendidikan politik kepada rakyat bahwa, memilih pemimpin penting dilaksanakan guna keberlanjutan jalannya roda pemerintahan, perencanaan maupun pembangunan disegala bidang sebagai cita-cita mencapai masyarakat yang adil dan makmur sejahtera, merupakan tugas para elit politik dan segenap ‘dayang-dayangnya’.
Dengan melek politik kita bisa membedakan mana pemimpin kita yang lurus, benar-benar bekerja untuk bangsa dan loyal pada kita sebagai rakyat, dan mana pemimpin abal-abal, penipu, dan hanya memperkaya diri sendiri dan keluarga, partai serta kroninya.
Soal memilih pemimpin untuk Sulut, dimensi politik ke-Mongondow-an sedang diuji eksistensinya menghadapi pilkada Gubernur dan Wakil Gubernur tahun 2020 ini. Apa pasal? Sebagaimana ditegaskan oleh peraturan dan perundang-undangan yang berlaku dalam proses pemilukada. Calon pemimpin daerah, satu (1) paket yang tak terpisahkan dengan Calon pemimpin provinsi.
Menyikapi hal ini, saya ingin bertanya. Dimensi tiga pilar politik ke-Mongondow-an masihkah sebagai alat pemersatu di tanah Totabuan? Entahlah. Masih kuatkah tiga pilar dihati kita sebagai anak Totabuan? Jawaban ada di masing-masing kita. Dilema? yaa.. dilema bagi mereka yang hanya jadi pengikut saja. Sebab, masing-masing kita punya cara dan pandangan politik berbeda, terbelah pula pada partai-partai politik yang ada.
Bagaimana kita menerjemahkan Mototompiaan sebagai pilar pertama yang oleh leluhur mewasiatkan dan mewariskan kepada kita generasi penerus cita-cita besar mereka untuk tetap berpegang pada hubungan silaturahim? Bobahasa’an, O’aheran dan Bobangkalan terjemahan saya terhadap Mototompiaan.
Apakah Mototabian sebagai pilar kedua masih dapat menggerakkan energi kekuatan kita untuk saling asah, asih dan asuh serta saling hormat dan saling “baku-baku sayang”? Entah . .
Dua pilar getarannya akan dahsyat apabila dimaknai dalam dimensi persatuan dan kesatuan gerak langkah linier dengan para elite penguasa dan tokoh masyarakat Bolaang Mongondow Raya (BMR) bahu membahu, bersatu padu dalam Motobatu’ molintak kon Totabuan. Siapa the kingmakernya?
Selanjutnya, Mototanoban sebagai pilar ketiga yang merupakan perwujudan sikap mental antara Pemimpin (penguasa) dan yang dipimpin (rakyat). Filosofi politiknya adalah saya bisa duduk dikursi pemimpin karena rakyat, kalau tidak karena rakyat mungkin anda atau kita tidak menjadi apa-apa. Atau boleh jadi saya pengangguran. Filosofi politik inilah yang kerap dilupakan atau pura-pura tidak tahu oleh sebagian besar pemimpin.
Padahal, sejatinya para pemimpin ini tahu betul bahwa pemimpin yang dekat dengan rakyat adalah dia yang sering datang menemui rakyat dan berdialog langsung menanyakan apa yang rakyat inginkan.
Pemimpin yang Egaliter di BMR dalam amatan saya adalah Sehan Salim Lanjar (SSL). Hanya Eyang pemimpin rakyat yang mendatangi rumah-rumah penduduk dan menanyakan apa kesulitan rakyatnya. Suka atau tidak, itu realita yang saya amati selama ini.
Sehingga Mototanoban antara pemimpin dan yang dipimpin terpelihara dan berkorelasi dengan Perjanjian Sakral antara Paloko dan Kinalang Sintak in akuoi ba bibitonku iko.
Semoga tiga pilar ini akan selalu menjadi energi pemersatu di Bumi Totabuan (tak perlu menjadi profesor politik untuk memaknainya). (*)