MANADO LensaSulut.com – Ketua Majelis hakim Pengadilan Negeri Manado, Djamaluddin Ismail,SH.MH yang didampingi dua hakim pengganti membacakan sidang putusan perkara penyerobotan lahan di kelurahan Malalayang 1 kecamatan Malalayang, kota Manado dengan terdakwa Nontje None. Selasa 26/1/21.
Dalam pembacaan putusannya majelis hakim memutuskan, bahwa terdakwa bersalah karena terbukti melanggar pasal 167 KUHP, dengan ancaman hukuman kurungan badan 7 bulan penjara dan denda sebesar Rp.3.000.
Menanggapi hal ini, tim kuasa hukum terdakwa yang diketua oleh Fahmi Oksan Awulle,SH, yang juga selaku presiden direktur Fahmi & partners kepada sejumlah wartawan menyatakan tidak terima dan sangat kecewa karena majelis hakim memutuskan sesuatu tanpa melihat pembuktian dilapangan dan pihaknya juga akan melakukan banding.
“Ini yang saya bilang berkali-kali apakah hukum itu tajam keatas tumpul ke bawah? apakah hukum itu berpihak pada orang yang berduit, sementara orang yang kita bela ini tidak punya apa-apa?, inilah hukum di Indonesia. Ibu nontje juga memiliki dokumen dokumen yang diakui oleh negara seharusnya kalau majelis pintar utamakan perdata, sekarang dia putuskan pidana ini harusnya perdata dulu,” ketus Awulle.
didampingi oleh direktur dan wakil direktur Fahmi & Partners, yakni Irfan Iskandar SH, Hairullah M Nur, SH bersama anggota tim yaitu Marshal Tambayong SH, Febriansyah SH, Cori Sofiani Sengkey SH, Refly Somba SH, Awulle mengungkapkan bahwa sekarang ahli waris tidak bisa keluar dari sana, dan sampai saat ini mereka juga tidak bisa keluarkan ahli waris dari lokasi tersebut dan selama ini ahli waris selalu diintimidasi. “Dan ada buktinya Paminal waktu turun tangan. Semua dibawah kasus Paminal,” ungkapnya.
Lanjut, Fahmi juga mengungkapkan bahwa majelis hakim hanya melihat sebelah mata dalam perkara ini. Dimana menurut dia, majelis hakim tidak betul-betul di tengah dan tidak betul-betul adil memutuskan perkara ini. “Dengan keputusan seperti ini bukan mau menuduh, tapi diduga hakim ada mainan kongkalingkong dengan pihak pelapor,” lanjutnya.
”Itu yang membuat kita kecewa dan marah. Sebenarnya sudah dari minggu lalu, kenapa? karena majelis hakim ketika menunda persidangan harusnya satu hari sebelum. Tapi pemberitahuan ini pada saat sudah kita diruang sidang, tiba-tiba dibatalkan dengan alasan yang tidak masuk di akal,” sambungnya kesal.
Sementara itu, Direktur Fahmi & Partners, Irfan Iskandar SH, menambahkan bahwa ada dua unsur yang belum dipertimbangkan oleh majelis hakim terkait dengan putusan perkara ini.
“Dasar pertimbangan majelis hakim atas putusan tersebut tentang adanya alas hak. Sedangkan pada pertimbangan sebelumnya bahwa persoalan tersebut adalah perdata, sehingga kontradiktif di dua pertimbangan tadi dan itulah yang menjadi alasan bagi kami sebagai kuasa hukum untuk mengajukan banding.” ujar Irfan Iskandar.
Lebih lanjut, Irfan mengatakan putusan majelis hakim menuntut terdakwa dengan pasal 167 adalah tidak tepat.
“Pasal yang dituduhkan ini ada beberapa unsur dan pertimbangan yang mau saya sampaikan di dalam persidangan di ruang sidang. Kemudian yang meringankan dan memberatkan, di mana dalam perkara ini klien kami dituntut 7 bulan di vonis 7 bulan. Artinya maksimum putusan itu dari tuntutan, sementara yang meringankan sebagai terdakwa itu seorang wanita jompo yang tidak pernah melakukan perbuatan ataupun juga sebagai unsur-unsur peringan tidak pernah dipertimbangkan. Malah tuntutan putusannya maksimum sesuai dengan tuntutan,” jelasnya.
“itulah yang menjadikan motifasi kami untuk mengajukan banding. Ayo kita uji di pengadilan yang lebih tinggi dalam hal ini pengadilan tinggi atau sampai di mahkamah agung, karena tentunya kita punya perspektif penilaian yang berbeda, tentang perbuatan ini adalah bukan tentang perbuatan penyerobotan. Mana ada pasal pidana tindak pidana penyerobotan, itu adalah memasuki pekarangan rumah orang lain, kalau saya masuk ke warung itu, apa saya menyerobot warung itu? tadi aja diputus bersalah melakukan penyerobotan. Mana ada melakukan perkara penyerobotan,” sambung Iskandar.
“Jadi artinya keliru persepsinya tentang rebut dan merebut tanah padahal bukan. Dan masalah rebut dan merebut tanah ada bidang hukumnya pengadilan berbeda namanya perdata. Disini ada tentang terbukti atau tidak terbuktinya masuk ke dalam pekarangan tertutup. Tentang tertutupnya ini yang tidak dipertimbangkan sama skali. Tadi disebut batas timur bartawan peduri, utara Laut, selatan jalan tidak disebut ada pagar atau tidak? jadi kalau tanah itu tanah lapang apakah saudara dilarang masuk?tidak. Tapi kalau tanah itu ditutup dengan pagar saudara masuk, ya melanggar hukum. Itulah pertimbangan yang esensual yang belum dipertimbangkan,” jelasnya lebih lanjut.
Ia pun mengatakan, bahwa pada sidang ada yang sangat mencolok mengenai pertimbangan. Dimana terdakwa adalah wanita jompo yang usianya sudah 59 tahun dan belum pernah melakukan tindak pidana sama skali tidak, dan hal ini tidak dipertimbangkan.
“Seharusnya kalau tuntutan 7 bulan kalau ada nilai-nilai kemanusiaan, kurangilah dari itu. Walaupun sebetulnya tetap tidak sesuai dengan tuntutan hukum pertimbangan-pertimbangan yang di jatuhkan,” imbuhnya.
Irfan juga menambahkan, dirinya bersama tim akan menggunakan langkah-langkah hukum yang ada untuk membela dan mengembalikan hak yang seharusnya menjadi milik dari terdakwa.
“Dengan kita menyatakan banding, putusan ini dengan serta merta putusan ini sudah tidak ada kekuatan hukum lagi. Tinggal menunggu keputusan di tingkat lebih tinggi lagi, jadi jangan ada isu bahwa itu sudah selesai. Kita kalah atau tidak, kita taulah kalau kita orang hukum, kalau putusan yang dinyatakan berkekuatan hukum tetap itu ingkra, dan ini belum ingkra, ini baru pengadilan negeri. Dengan kita banding, putusannya belum tentu sama dengan pengadilan sini. Bisa saja memenangkan kita, bisa saja tetap. Masih banyak kemungkinan karena masih ada mahkamah agung, ini baru pengadilan negeri kok,” tambahnya.
Sementara itu, kepala Pengadilan Negeri Manado, Djamaluddin Ismail SH MH, melalui Humas Pengadilan Negara Manado, Relly meminta kepada kuasa hukum terdakwa agar bisa melakukan upaya hukum lebih lanjut.
“Pada prinsipnya saya minta kepada semua pihak untuk menghormati putusan pengadilan, soal ada kecewa atau marah itu wajar. Tapi sebaiknya lakukanlah upaya hukum biar diuji di pengadilan tinggi,” tanggapnya.
(Iqbal)