BITUNG, LensaSulut.com – Sidang praperadilan Polres Bitung selaku termohon yang diadukan Karim Yusuf melalui pengacaranya Wanny CH Tumewu, SH, SE, MH, memasuki babak baru yakni pengajuan bukti surat dari saksi dan kuasa termohon.
Sidang yang berlangsung di Pengadilan Negeri Bitung, pada Senin 24/1/2022, dipimpin oleh hakim tunggal Christian Siregar SH dengan panitera Julita Warouw SH, pihak termohon Polres Bitung menghadirkan saksi Yunistiawaty Soehardjo.
Dihadapan Hakim, Yunistiawaty Soehardjo membantah bukti yang ditulisnya sendiri dan berdalih bahwa uang yang diberikan kepada Karim Yusuf bukan berupa pinjaman, tapi bantuan. Hal ini disampaikan pengacara Wanny Tumewu saat berbincang dengan sejumlah wartawan usai sidang.
“Jadi yang dibantah adalah bukti kwitansi bertuliskan ‘Telah diterima dari Yunistiawaty Soehardjo uang sembilan puluh juta rupiah sebagai pinjaman’. Tapi setelah ditanya berulang kali baru ia mengakui bahwa itu sebagai pinjaman. Berarti dia tau itu pinjaman dan tidak ada unsur penipuan seperti pasal yang diterapkan penyidik kepada klien kami,” jelas Tumewu.
“Pada kesaksiannya juga, dia mengatakan bahwa ada saksi bersama dengannya. Padahal pada kesaksiannya sebelumnya, dia mengaku datang sendirian ke rumah kantor terlapor. Jadi kesaksiannya bertele-tele,” sambung Tumewu.
“Begitu pun bukti surat yang diajukan termohon yakni surat pemberitahuan dimulainya penyidikan, itu terjadi kontradiksi dari kuasa termohon tanggal 3 dan yang asli kepada kami tertanggal 9. Ini tidak mungkin terjadi kesalahan selain indikasi manipulasi dokumen,” imbuhnya.
“Begitu juga dengan saksi penyidik oleh termohon yang dihadirkan. Saya mempertanyakan kompetensi dan syarat syarat penyidik karena tidak terpenuhi secara konstitusi. Kemudian saya pertanyakan masalah SKEP. Makanya terjadi kesalahan prosedur penyidikan sehingga kemudian kami mempraperadilan soal penanganan klien kami di Polres Bitung terkait hutang piutang,” tukasnya.
Pada persidangan ini, Polres Bitung juga menghadirkan saksi suami Yunistiawaty yakni Hadrin Sampingan.
Diketahui pangkal mula perkara praperadilan berawal dari laporan Yunistiawaty Soehardjo kepada Karim Yusuf warga Perum Pinokalan Indah Blok G nomor 11, Kelurahan Pinokalan, Kecamatan Ranowulu, kota Bitung, ke Polres Bitung. Karim dilaporkan oleh Yunistiawaty Soehardjo atas dugaan hutang piutang, yang oleh penyidik dalam BAP dijerat dengan tindak pidana pasal 378.
Sementara itu Istri terlapor Karim saat ditanya mengenai awal terjadi hutang piutang hingga Karim dilaporkan oleh Yunistiawaty Soehardjo ke Polres Bitung mengatakan bahwa masalah ini bermula kedatangan suami pelapor ke rumah yang sekaligus sebagai kantor terlapor untuk meminta terlapor Karim agar membantunya menagih hutang uang yang dipinjamkan kepada dua orang karyawan Karim, yakni Rostin dan Dody.
“Suami kemudian meminta pak Hadirin suami pelapor untuk datang kembali saat gajian karyawan minggu berikutnya. Selanjutnya Hadirin menawarkan kepada Karim kalau bagaimana dia juga meminjamkan uang ke karyawan karyawan. Tapi suami tidak terlalu serius menanggapi karena sedang fokus di pekerjaan. Ehh tiba waktu gajian minggu berikutnya, suami kaget karena sudah banyak karyawan yang berurusan pinjaman uang dengan pak Hadirin,” terang Fitri, istri Karim.
Kemudian sejak saat itu terjadi penagihan penagihan dan pinjaman oleh Hadirin kepada karyawan secara langsung di depan Karim dengan memanggil satu persatu sebanyak sepuluh orang masing masing satu juta dan dikembalikan jadi 1.200.000 per karyawan setiap dua minggu.
“Jadi suami saya hanya menyaksikan saja dan tak ikut mencampuri setiap pinjam meminjam yang dilakukan pak Hadirin dengan karyawan, apalagi belakangan sudah mengetahui kalau pak Hadirin sebagai anggota di Polres, walau tidak pernah datang menggunakan seragam polisi,” ujarnya.
Proses pinjam tagih antara Hadirin dengan karyawan kata istri Karim, dilihat berjalan lancar terus menerus hingga suatu ketika Hadirin datang menemui Karim dan menyodorkan catatan hutang senilai 72 juta dengan rincian beberapa kali tidak membayar ditambah bunga 40% per bulannya.
“Selang beberapa waktu, kemudian datang istri pak Hadirin ke rumah menemui suami. Yunistiawaty yang baru pertama kali datang dan bertemu dengan kami, mengatakan kedatangannya atas perintah karena pak Hadirin lagi bertugas ke daerah Sangihe. Tapi sebelumnya, dia yang datang bersama dua orang sudah main ambil foto rumah, dan foto kantor,” beber istri Karim.
“Setelah ibu itu masuk ke kantor menemui suami, dia langsung menyodorkan dan meminta suami saya menandatangani kwitansi. Tapi suami menolak dan menelepon menanyakan ke pak Hadirin menanyakan kwitansi yang dipaksakan untuk ditandatangani sudah bernilai 90 juta. Saat itu Hadirin cuma bilang sudah tanda tangan saja, nanti itu torang dua pe urusan. Hadirin terus menekan untuk ditandatangani dan meyakinkan tidak apa-apa dan meminta Karim untuk membayarkan bunga 9 juta saja sembari mengatakan itu nanti torang bicarakan langsung besok kalau sudah tiba,” urainya.
“Akhirnya kemudian suami memberikan uang 9 juta dan menandatangani kwitansi yang disodorkan pelapor. Disaat itu juga si pelapor istri dari komdan memotret suami saya, dan itu disaksikan oleh beberapa karyawan suami. Jadi mereka karyawan mengetahui persis tindakan istri komdan Hadirin Sampingan, saat mulai datang hingga kembali,” tandasnya.
“Usai kejadian kedatangan dan tindakan yang dilakukan pelapor di rumah dan kantor, suami saya jadi gelisah. Besoknya kami menghubungi Hadirin lewat Whatsapp tapi tidak ditanggapi. Bahkan suami dan saya mendatangi pak Hadirin ke rumahnya tapi mereka suami istri tak mau bertemu kecuali suami bersedia membayarkan semua uang sejumlah 90 juta,” ucapnya dengan raut sedih.
Ia pun menambahkan bahwa sejak saat itu suaminya terus didesak untuk membayar hutang uang yang tidak pernah dimintanya bahkan tidak pernah menerima atau menggunakan uang dari Hadirin Sampingan apalagi kepada pelapor. “Justru suami saya yang keluar uang bayar bunga yang bukan dia yang bertransaksi dengan komdan,” pungkasnya lirih.
(bal)